Pernikahan beda agama menjadi fenomena yang terjadi saat ini. Banyak orang yang melakukan pernikahan beda agama atas dasar cinta dan hak asasi manusia. Hal tersebut menjadi bahasan menarik bagi sivitas akademika FISIP UMJ pada pengajian rutin AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) yang digelar secara hybrid di gedung FISIP UMJ, Jumat (15/07).
Dr. Evi Satispi, M.Si., Dekan FISIP UMJ, menyampaikan pada pengantar pengajian, bahwa sebagai orang tua sekaligus pendidik harus memiliki pendekatan pendidikan keluarga untuk mendidik anak-anak agar terhindar dari hal-hal yang menyimpang dari agama. Berkaitan dengan pernikahan beda agama, dekan FISIP UMJ yang hadir secara daring mengingatkan posisi pemerintah yang perlu menjadi perhatian, “lebih berbahaya lagi ketika ada regulasi dari pemerintah (tentang pernikahan beda agama),” lanjut Evi.
Pernikahan beda agama yang marak terjadi dianggap sebagai wujud dari hak asasi manusia yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat, sejak 2005 sebanyak 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia. Angka tersebut bisa jadi bertambah jika masyarakat menormalisasi fenomena tersebut.
Dr. Oneng Nurul Bariyah, M.Ag yang hadir sebagai narasumber pada kajian rutin tersebut, menyampaikan bahwa agama Islam mengatur segala hal termasuk pernikahan. Hak asasi manusia yang digunakan untuk memperbolehkan pernikahan beda agama tidak berstandar pada Al Quran dan sunnah. Islam menghormati dan mengatur hak-hak manusia, bersumber pada Al Quran dan sunnah.
Pernikahan beda agama tegas dilarang oleh ajaran agama Islam karena akan bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam. Tujuan utama pernikahan adalah terwujudnya sakinah dalam keluarga yang dapat dicapai salah satunya dengan kafaa fiddin (kufu). Selain itu pernikahan akan berkaitan dengan hak-hak lainnya, seperti hak waris, hak perwalian, dsb., yang tidak akan bisa jika pernikahan dilakukan dengan perbedaan agama. Pernikahan beda agama juga akan membuka lebar terjadinya pemurtadan yang sangat bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam, yakni menjaga fitrah agama setiap orang karena setiap manusia lahir dalam keadaan bertauhid.
Disamping larangan pernikahan beda agama, sebagian ada juga yang menyatakan pernikahan beda agama diperbolehkan atau mubah yakni pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. Namun menurut Oneng, hal tersebut tidak dapat dibenarkan sepenuhnya melainkan perlu ada kajian lebih mendalam. Oneng menyampaikan bahwa membedakan ahli kitab dan kafir serta membandingkan ahli kitab zaman terdahulu dengan saat ini diperlukan dalam mengambil sikap terkait pernikahan beda agama.
“Keluarga adalah institusi yang sangat penting dalam merealisasikan nilai-nilai agama,” tegas Oneng. Oleh karenanya pernikahan beda agama akan bertentangan dengan cita-cita luhur pernikahan dalam Islam. (DN)