Semangat Bernegara Ala Muhammadiyah

Facebook
Twitter
WhatsApp

Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang akan digelar di Surakarta, Jawa Tengah, pada 18-20 November 2022, gemanya sudah mulai terasa dalam sebulan terakhir ini. Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk menyambut perhelatan yang salah satu agenda terpentingnya adalah pemilihan pimpinan persyarikatan untuk periode 2022-2027. Siapa yang bakal dipilih muktamirin, saya yakin pastilah merupakan kader-kader terbaik Muhammadiyah.

Dalam suasana kemeriahan menyambut muktamar yang sempat tertunda dua tahun akibat pandemi Covid-19 itu, pada minggu pertama Agustus ini saya mendapat kehormatan untuk berbicara pada  acara  yang diselenggarakan Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) dan  Universitas Muhammadiyah Jakarta. Tema kedua acara ini bertalian dengan politik di Tanah Air, khususnya politik umat Islam. Dalam tulisan ini, saya akan fokus pada bagaimana  pandangan Muhammadiyah terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini. Hemat saya, ini merupakan salah satu sumbangan terpenting yang diberikan Muhammadiyah, dalam konteks kehidupan bernegara kita sekarang dan yang akaan datang.

Dalam konteks ini, rujukan utama saya adalah sebuah risalah bertajuk Negara Pancasila sebagai Dar Al-Ahadi wa Al-Syahadah, yang diputuskan dalam muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan. Pemikiran Negara Pancasila ini disusun berdasarkan pandangan “Islam berkemajuan” yang menjadi perspektif keislaman Muhammadiyah dewasa ini. Konsep Negara Pancasila ini diharapkan menjadi  rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan, khususnya  bagi warga Muhammadiyah dan umumnya umat Islam di Tanah Air,  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara khusus saya memperoleh buku ini ketika kami, pimpinan MPR RI, bersilaturahim ke kantor PP Muhammadiyah  di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, pada 16 Desember 2019. Waktu itu kami disambut Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr.  Haedar Nasir yang didampingi sejumlah anggota pimpinan teras Muhammadiyah lainnya. Banyak hal yang kami diskusikan, antara lain soal kebangsaan dan amandemen terbatas UUD 1945. Berikut ini adalah beberapa hal pokok yang perlu kita ketahui dari buku Negara Pancasila, yang merupakan buah dari ijtihad kolektif para pemimpin Muhammadiyah.

Dalam pandangan Muhammadiyah, lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dijiwai oleh spirit keruhanian sebagaimana tertuang dalam alinea awal pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Dalam pandangan Muhammadiyah, diktum-diktum dalam Pembukaan UUD 1945 itu sungguh penting dan mendasar karena mengandung jiwa, filosofi, pemikiran, dan cita-cita bernegara. Oleh karena diktum-diktum dasar itu harus dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan kebangsaan oleh seluruh warga dan penyelenggara negara. Sebab  dalamnya terkandung suasana kebatinan dan spiritualitas yang didasari jiwa keagamaan dari para pendiri bangsa. Mereka  mengakui bahwa kemerdekaan dan berdirinya negara Indonesia,  merupakan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, selain atas dorongan keinginan luhur dari seluruh rakyat. Jika dirujuk pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, maka negara Indonesia itu tidak dapat dipisahkan dari jiwa, pikiran, dan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan yang berlandaskan Tauhid. Spirit ruhaniah itu makin kuat ketika  dikaitkan dengan pasal 29 UUD 1945 yang mengakui keberadaan dan kemerdekaan umat beragama untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaan agamanya. Dalam Pembukaan UUD 1945 itu terkandung esensi nilai-nilai ketuhanan yang kuat, sehingga Indonesia dapat dikatakan sebagai negara Pancasila yang religius. Bukan negara sekuler yang memisahkan atau menjauhkan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan dari denyut nadi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Lebih jauh, Muhammadiyah memandang bahwa Pancasila, yang menjadi falsafah bangsa dan dasar negara, sejalan dengan ajaran Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Negara Pancasila yang mengandung jiwa, pikiran, dan citacita luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, menurut Muhammadiyah, dapat diaktualisasikan sebagai “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”  yang berkehidupan maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT.

Kedudukan Negara Pancasila

Muhammadiyah secara eksplisit menyatakan bahwa Negara Pancasila sebagai dar al-‘ahdi wa al-syahadah.  Yakni sebagai  hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi),  dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT. Dikatakan, bahwa negara ideal yang dicita-citakan Islam adalah negara yang  diberkahi Allah karena penduduknya beriman dan bertaqwa (QS Al-A’raf: 96), beribadah dan memakmurkannya (QS Adz-Dzariyat: 56; Hud: 61), menjalankan fungsi kekhalifahan dan tidak membuat kerusakan di dalamnya (QS AlBaqarah: 11,30), memiliki relasi hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan dengan sesama (hablun minannas) yang harmonis (QS Ali Imran: 112), mengembangkan pergaulan antar komponen bangsa dan kemanusiaan yang setara dan berkualitas taqwa (QS Al-Hujarat 13), serta menjadi bangsa unggulan bermartabat, khairu ummah (QS Ali Imran: 110).

Negara Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim tersebut dalam konteks keislaman dan keindonesiaan harus terus dibangun menjadi Negara Pancasila yang Islami dan berkemajuan menuju peradaban utama bagi seluruh rakyat. Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang menjadi rujukan ideologis dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Pancasila itu Islami karena substansi pada setiap silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam Pancasila terkandung ciri keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius), hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran. Melalui proses integrasi keislaman dan keindonesiaan yang positif itu maka umat Islam Indonesia sebagai kekuatan mayoritas dapat menjadi uswah hasanah  dalam membangun Negara Pancasila menuju cita-cita nasional yang sejalan dengan idealisasi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Segenap umat Islam, termasuk di dalamnya Muhammadiyah, harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna menuju kemajuan di segala bidang kehidupan. Dalam Negara Pancasila sebagai Darus Syahadah, umat Islam harus siap bersaing (fastabiqul khairat) untuk mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi yang terbaik. Dalam hal ini Muhammadiyah sebagai komponen strategis umat dan bangsa mempunyai peluang besar untuk mengamalkan etos fastabiqul khairat itu dan tampil menjadi a leading force atau kekuatan yang berada di garis depan untuk mengisi dan memimpin Negara Pancasila menuju kehidupan kebangsaan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sejajar dengan negara-negara lain yang telah maju dan berperadaban tinggi.

Dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara nilai-nilai Pancasila belum banyak diimplementasikan sehingga penyelenggaraan pemerintahan masih diwarnai penyimpangan antara lain terlihat dari maraknya praktik-praktik korupsi, kekerasan, skandal moral, friksi-friksi dalam masyarakat, eksploitasi sumber daya alam secara tak bertanggungjawab, kemiskinan, dan belum terwujudnya pemerataan atas hasil pembangunan nasional. Sebagian elite dan warga menunjukkan perilaku aji mumpung, menerabas, serta mengedepankan kepentingan diri dan kroni yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Sementara kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budaya cenderung serba liberal. Pancasila dengan lima silanya yang luhur itu harus ditransformasikan ke dalam seluruh sistem kehidupan nasional sehingga terwujud Indonesia sebagai bangsa dan negara yang benar-benar Berketuhanan Yang Maha Esa, Berperikamanusiaan yang adil dan beradab, Berpersatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila harus diberi pemaknaan nilai dan aktualisasi secara terbuka dan dinamis sehingga dapat menjadi rujukan dan panduan yang mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam Negara Pancasila terkandung paham nasionalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan orientasi kebangsaan serta menjadi bingkai pandangan negara-bangsa. Paham nasionalisme serta segala bentuk pemikiran dan usaha yang dikembangkan dalam membangun Indonesia haruslah berada dalam kerangka dasar Negara Pancasila dan diproyeksikan secara dinamis untuk terwujudnya cita-cita nasional tahun 1945. Nasionalisme bukanlah doktrin mati sebatas slogan cinta tanah air minus pembuktian. Nasionalisme harus dimaknai dan difungsikan sebagai spirit, pemikiran, dan tindakan untuk membangun Indonesia secara amanah dan bertanggungjawab menuju terwujudnya cita-cita nasional di tengah badai masalah dan tantangan zaman.

Nasionalisme yang bertumpu pada jiwa dan cita-cita kemerdekaan itu harus mampu menghilangkan benih-benih separatisme dan penyimpangan dalam bernegara. Segala bentuk separatisme yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mencita-citakan bentuk negara yang lain sesungguhnya bertentangan dengan komitmen nasional dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demikian pula setiap bentuk penyelewengan dalam mengurus negara seperti korupsi, kolusi, nepotisme, penjualan aset-aset negara, pengrusakan sumber daya alam dan lingkungan, penindasan terhadap rakyat, otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, tunduk pada kekuasaan asing, serta berbagai tindakan yang merugikan hajat hidup bangsa dan negara merupakan pengkhianatan terhadap nasionalisme dan cita-cita kemerdekaan.

Muhammadiyah sebagai kekuatan strategis umat dan bangsa berkomitmen untuk membangun Negara Pancasila dengan pandangan Islam yang berkemajuan. Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi anti perang, anti terorisme, anti kekerasan, anti penindasan, anti keterbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi. Billahi fi sabilil haq, fastabiqul khairat.

Selamat menyambut muktamar ke-48.

Sumber : https://umj.ac.id/opini/semangat-bernegara-ala-muhammadiyah/