Aksi terorisme tidak hanya menghilangkan nyawa, tapi juga dinilai sebagai tindakan yang merusak demokrasi. Hal tersebut dinyatakan oleh Letjen (Purn) Shokin Chauhan, Former Director-General of the Assam Rifles dalam Seminar International Dangers of Terrorism: Commemorating the Tragedy of 26/11 Mumbai Terror Attacks, Kamis (24/11). Seminar yang digelar secara hybrid di Aula Kasman Singodimedjo FISIP UMJ menghadirkan akademisi dan pakar yang konsen mengkaji dan melawan aksi terorisme.
Dua pembicara hadir secara luring yaitu dosen Magister Ilmu Politik FISIP UMJ Dr. Sri Yunanto dan Senior Research Fellow at CSEAS Indonesia Veeramalla Anjaiah. Sedangkan pembicara lainnya hadir secara daring, diantaranya Letjen (Purn) Shokin Chauhan, Senior Fellow at the Observer Research Foundation (ORF) Dr. Sameer Patil, dan Prof. Dr. Irfan Idris, MA. Direktur Deradikalisasi Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Shokin juga menilai tindakan terorisme telah mengakibatkan ancaman perang antara India dan Pakistan. Dimensi inilah yang menyebabkan konflik baru selain masalah Kashmir. Sri Yunanto membenarkan pandangan Shokin tentang adanya hubungan India dan Pakistan yang memburuk akibat tindak terorisme di Mumbai waktu itu. Disebutkan alasan memburuknya hubungan karena tuduhan bahwa Dinas Intelijen Pakistan mendukung dan melatih Lashkar-e-Taiba (LeT).
Sementara Veeramalla Anjaiah, peneliti senior Fellow at CSEAS Indonesia menjelaskan, serangan terhadap Mumbai yang menelan korban banyak itu dilakukan tiga hari dalam lima gelombang. Gelombang pertama dilakukan Ismail Khan di Stasiun Kereta Api Chatpathi Shivaji. Gelombang kedua serangan berlangsung di kafe Leopol. Serangan ketiga di Hotel Taj Mahal. Serangan keempat di Hotel Oberai dan Trident. Serangan kelima di Rumah Nariman.
Veeramalah berharap tragedi Mumbai ini tidak dilupakan begitu saja dan keadilan terhadap para pelaku masih harus terus diupayakan sebagai penghormatan terhadap korban tindak terorisme.
Di bagian lain, Irfan menjelaskan bila belajar dari berbagai tindak terorisme terutama sejak bom Bali, Indonesia memiliki Strategi Nasional Pencegahan Terorisme melalui UU No 5 Tahun 2018. Dalam UU ini disebutkan bahwa pencegahan tindak terorisme melalui pendekatan soft power dan hard power.
Pelaksanaan program deradikalisasi di Lapas dilakukan secara terpadu, sistematis, dan berkesinambungan sepanjang tahun 2022 dengan menempatkan personel dari Subdit Pengembangan Lapas di wilayah Nusakambangan dan Gunung Sindur, katanya.
Seminar ini merupakan kerjasama Prodi Ilmu Politik dan Magister Ilmu Politik dengan kelompok Sahabat India di Indonesia, didukung oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Ma’mun Murod M.Si dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dr. Evi Satispi M.Si. Dihadiri sekitar 86 peserta mahasiswa dan dosen serta secara langsung dan ditayangkan di You Tube Channel FISIP UMJ.
Sebelum mengawali seminar, seluruh peserta seminar melakukan one minute silence dalam rangka memperingati tragedi aksi terorisme di Mumbai, untuk mengenang para korban dan sebagai bentuk kepedulian terhadap keluarga korban. (AS/FISIP)